Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa itu Sistem Ekonomi Tradisional?

Apa itu Sistem Ekonomi Tradisional?

Kesetaraan gender adalah sebuah isu yang menarik untuk diperbincangkan baik di kalangan akademisi, para ahli di bidang sosial, aktivis, hingga di kalangan awam (diluar praktisi akademis dan sosial). 

Betapa tidak, isu mengenai kesetaraan gender ini kerap kali menjadi sorotan di media massa ketika terjadi masalah-masalah terkait isu perempuan pekerja. Salah satu hal yang menjadi titik permasalahan gender ada dalam sistem ekonomi tradisional, ketika posisi perempuan berada di bawah posisi laki-laki sebagai sang superior.

Ya, gender memang lahir sebagai sebuah bentukan kehidupan masyarakat secara sosial. Pada mulanya isu pemisahan gender terjadi pada saat paham kapitalisme mulai berkembang, dalam kurun waktu tersebut, terjadi pembagian lapangan kerja bagi laki-laki dan perempuan. 

Selain itu juga, konsep domestik-publik, dan nurture-nature diperkenalkan sebagai pembedaan fungsi dan peran atas laki-laki dan perempuan.

Isu pemisahan gender pada masyarakat kapitalis pada masa lalu dilakukan untuk mempermudah kajian sosial kala itu, tentang pekerja-pekerja di tengah revolusi industri di Eropa di akhir abad ke- 18 atau awal abad ke-19. 

Untuk mempermudah penjelasan mengenai fungsi dan peran laki-laki dan perempuan yang berbeda satu sama lain (atau sengaja dibedakan untuk kepentingan kapitalis).

Konsep domestik dan publik dalam sistem ekonomi tradisional pada kajian gender, menjelaskan tentang perbedaan ranah kerja perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat secara lingkup sosial (peranan sosial laki-laki dan perempuan). 

Konsep domestik menjelaskan tentang ranah perempuan yang memiliki kewenangan penuh atas kehidupan rumah tangganya, termasuk dalam hal pengasuhan anak, sehingga perempuan saat itu lebih memfokuskan diri di rumah.

Konsep publik menjelaskan tentang ranah laki-laki yang memiliki kewenangan penuh dalam mencari nafkah, dan bersosialisasi dengan pihak-pihak yang berasal dari luar rumah. Dalam sistem ekonomi tradisional hal ini bisa dilihat. 

Jadi, laki-laki pada saat itu memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri di luar rumahnya, namun memiliki tekanan yang keras untuk mencari nafkah sebesar-besarnya untuk kesejahteraan keluarga.

Sedangkan konsep nurture dan nature menjelaskan tentang fungsi laki-laki dan perempuan terkait dengan perannya dalam kehidupan sosial. 

Nurture merupakan konsep yang menjelaskan posisi laki-laki sebagai pencari nafkah dan penjamin hidup keluarga yang ia miliki karena perannya sebagai kepala rumah tangga, sedangkan nature merupakan konsep yang menjelaskan bahwa perempuan merupakan penghasil keturunan.

Dalam hal ini, perempuan sebagai pemilik rahim, yang nantinya akan dibuahi, dan pada saatnya melahirkan keturunan, menyusui, hingga membesarkannya. Fungsi ini disertai peran dalam pengasuhan keturunannya tersebut. Begitu pula sangkut pautnya dengan patriarki dalam sistem ekonomi tradisional.

Pada masa revolusi industri tersebut, pembagian kerja mungkin dilakukan untuk membatasi gelombang buruh-buruh pribumi (orang Eropa pada saat itu) yang telah mengerti tentang harga yang pantas bagi pekerjaannya. 

Sehingga banyak industri di Eropa yang lebih memilih untuk memakai buruh di luar Eropa yang didatangkan secara paksa dari tanah-tanah jajahan pemerintah mereka agar mereka tidak dibayar dengan harga tinggi, bahkan tidak dibayar sama sekali.

Karena itulah gelombang pekerja mereka dibatasi salah satunya dengan pemisahan peran dan fungsi atas laki-laki dan perempuan. Pembatasan itu pun akhirnya disunting menjadi rangkaian pola-pola sosial yang lambat laun dibakukan dan diterima oleh masyarakat bukan saja sebagai aturan, melainkan nilai yang harus dijaga dalam kelangsungan hidup mereka.

Pemisahan fungsi dan peran secara gender ini menjadi hegemoni tersendiri dalam masyarakat. Ketika pemerintah yang bekerja sama dengan ahli-ahli ekonomi kapitalis "memaksakan" nilai-nilai ke dalam masyarakat yang sesungguhnya ialah peluru-peluru kepentingan mereka yang terselubung.

Pemisahan gender ini kemudian dianut sebagai nilai-nilai yang menjadi acuan perbedaan fungsi dan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat secara global. 

Meskipun nilai-nilai gender yang berlaku tidak selalu bersifat universal, namun nilai-nilai tentang pemisahan gender ini pasti terjadi dimanapun, dan telah pula mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Seperti yang tercermin dalam sistem ekonomi tradisional. 

Nilai-nilai pembedaan ini sudah jelas terlihat pengaruhnya di dalam aspek-aspek kemasyarakatan seperti agama (yang kemudian disesuaikan dengan dogma-dogma yang diajarkan pada umatnya), politik, tentu saja dunia ekonomi serta lapangan pekerjaan, dan bahkan dunia pendidikan (yang seharusnya bersih dari unsur-unsur kepentingan selain mengenai kebutuhan pendidikan).

Kemudian, karena pengaruhnya sudah mengakar cukup dalam, jarang sekali ada titik tawar mengenai peran dan fungsi gender ini.

Hal-hal seperti itulah yang kemudian disuarakan oleh para aktivis yang peduli terhadap permasalahan-permasalahan seperti ini, di mana pihak-pihak yang berwenang (dalam hal ini para ahli dan pemerintah) seharusnya menyadari bahwa perbedaan gender yang kurang tepat pada aspek-aspek tersebut seharusnya dihilangkan, karena justru mengganggu keberlangsungannya.

Mengapa? Karena, sudah merupakan sebuah fakta bahwa kerap kali perbedaan gender ini bukan memberikan solusi, melainkan masalah baru. Begitulah bagaimana sistem ekonomi tradisional menggambarkan hal ini.

Adanya diskriminasi gender, adanya penanaman nilai-nilai yang salah mengenai perbedaan gender, ketidaktepatan menentukan aturan-aturan yang seringkali bias gender pada segala aspek kehidupan (bias gender adalah kondisi di mana seseorang memandang gender dengan perspektif yang salah, sehingga memosisikan gender tertentu lebih rendah dari yang lainnya), serta hal lainnya yang mungkin dapat Anda rasakan sendiri di lingkungan pribadi Anda.

Diskriminasi gender kerap kali terjadi tanpa terasa oleh masyarakat secara umum, maupun oleh pelakunya secara khusus, bahkan seringkali juga tidak dirasakan oleh orang yang menjadi sasaran diskriminasinya. Tetapi, kini masalah ini dapat terselesaikan, karena ada perbaikan nilai-nilai dalam masyarakat, yang disesuaikan kembali dengan kebutuhan kekinian. 

Misalnya, dalam dunia kuliner di masa lalu, laki-laki dianggap tidak bisa berkreasi di bidang ini, karena bidang pekerjaan ini merupakan lapangan domestik, di mana perempuanlah yang memiliki kewenangan. 

Sedangkan laki-laki yang mahir di bidang ini didiskriminasikan, dianggap keperempuan-perempuan. Sehingga, banyak di antara mereka yang menghindari keahlian ini.

Namun saat ini, justru banyak lahir ahli memasak (chef) laki-laki, meskipun perempuan masih memiliki peran yang sama. Berkat perjuangan mengenai emansipasi, kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki tergambar ketika mereka memiliki kesempatan yang sama dalam satu dunia yang pada masa lalu dianggap berlawanan. 

Cerita di atas ialah contoh nyata yang bisa dihubungkan dengan segala aspek yang kondisinya hampir serupa.

Kesetaraan Gender pada Masyarakat Tradisional

Apa itu Sistem Ekonomi Tradisional?

Jika berbicara mengenai masalah kesetaraan gender, kita patut berkaca pada masyarakat tradisional. Dalam hal kesetaraan gender ini, masyarakat tradisional lebih memandangnya dengan arif dan bijak. Meski menurut pendapat banyak orang, pemikiran masyarakat tradisional masih sederhana.

Namun itulah yang justru menjadi kekuatan bagi mereka. Mungkin Anda dapat melihatnya sendiri, di luar masalah kurangnya sarana dan kesejahteraan, masyarakat tradisional jarang sekali mengalami masalah sosial, apalagi masalah tentang kesetaraan gender.

Kesetaraan gender memang menjadi salah satu permasalahan yang seringkali menimpa masyarakat di negara berkembang, bahkan juga di negara maju. Padahal, anggapan modernisasi di antara mereka begitu menyeruak. Seharusnya, pikiran-pikiran individu pada masyarakat modern harus mampu menerima perubahan dengan cepat.

Sehingga, kesetaraan gender bukan lagi menjadi masalah yang perlu diperdebatkan. Namun, yang terjadi justru masalah-masalah tersebut muncul dan berkembang ditengah-tengah "kecanggihan berpikir" mereka yang "modern". Salah satunya adalah masalah kesetaraan gender ini, yang jika dibahas tidak akan pernah ada ujungnya.

Diduga, kompleksitas itulah yang menyebabkan ini semua terjadi. Modernisasi mendorong situasi masyarakat yang mengalami proses ini melaju kearah yang lebih kompleks. Sehingga sistem sosial dan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat menjadi semakin kompleks.

Di dalam kompleksitas itulah kelas-kelas menjadi penting. Lahirlah pembedaan-pembedaan dalam masyarakat untuk memudahkan berbagai kepentingan (salah satunya kepentingan studi). Masyarakat dibagi ke dalam kelompok-kelompok dalam kategorisasi tertentu sesuai dengan kepentingan, termasuk mengenai gender ini.

Ya, pembedaan seperti stratifikasi, diferensiasi, status sosial, dan gender memang lahir dalam kompleksitas masyarakat modern. Sedangkan, pada masyarakat tradisional, iklim klasifikasi secara sosial tidak begitu menyeruak, termasuk mengenai pembagian gender ini. 

Meskipun dalam penyelenggaraannya masih ada sistem pembagian kerja, peran, dan fungsi secara sosial, namun pada masyarakat tradisional, hal ini hanya mempengaruhi permukaannya saja.

Tidak lantas mempengaruhi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pemikiran masyarakat tradisional masih sederhana, oleh karena itu dalam studi sosial, masyarakat tradisional juga disebut sebagai masyarakat sederhana. Kompleksitas atas pola pikir dan sistem sosial belum begitu mengemuka di antara mereka.

Dan, masyarakat tradisional ini masih bersifat egaliter, tidak ada istilah memerintah, menggurui, ataupun memimpin secara otoriter dalam masyarakat. Semuanya dijalankan dengan kesetaraan, termasuk dalam pembagian kerja secara gender.

Kesetaraan Gender - Perempuan-Perempuan di Pasar Tradisional

Pernahkah Anda main ke pasar-pasar tradisional di desa-desa atau daerah kecil yang Anda kunjungi? Atau, bahkan Anda merupakan salah seorang konsumen pasar tradisional? Coba bandingkan hiruk pikuknya dengan keadaan di pasar modern (supermarket).

Sekilas, tidak ada yang aneh, baik di pasar tradisional maupun modern, berbagai macam komoditi dijajakan dan konsumennya rata-rata adalah kaum hawa. Mungkin yang sedikit berbeda adalah, atmosfer mengenai hubungan sosial di dalam pasar-pasar tersebut. Dalam pasar tradisional, interaksi akan lebih kental daripada di supermarket.

Hubungan pertemanan yang memanjang antara penjual dan pembeli sangat mungkin terjadi karena adanya proses interaksi dalam tawar menawar dan kemungkinan untuk perasaan nyaman ketika telah terpuaskan untuk membeli dari pedagang yang sama setiap waktu.

Di pasar modern, hal itu sangat jarang terjadi, karena konsumen yang membeli di pasar modern rata-rata memiliki tingkat "kesibukan" yang lebih tinggi, sehingga sangat sulit untuk mengadakan sebuah interaksi. Berbagai interaksi yang terjadi di pasar tradisional itu mungkin adalah bahasan yang menarik untuk dikaji.

Namun, ada isu yang lebih menarik, yakni mengenai kesetaraan gender. Coba perhatikan apabila Anda datang ke pasar-pasar tradisional, siapakah yang paling banyak menjajakan dagangannya? Ya, ibu-ibu. 

Ibu-ibu memang menjadi unsur pelengkap utama dalam sebuah pasar tradisional. Betapa tidak, baik konsumen maupun pedagangnya merupakan seseorang yang berperan sebagai ibu (atau dengan kata lain, perempuan).

Para pedagang ibu-ibu di pasar tradisional merupakan hal yang menarik untuk dianalisis. Dalam dunia kapitalis modern, mereka memiliki peranan dalam ranah domestik. 

Memelihara rumah tangga dengan sebaik-baiknya, terutama pada pola pengasuhan anak, kemudian melakukan hal lain yang seharusnya dilakukan, seperti memasak, dan membersihkan rumah. Namun, dari sistem ekonomi tradisional inilah masyarakat modern seharusnya berkaca.

Keegaliteran pada masyarakat tradisional tidak lantas memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil porsi mereka dalam ranah-ranah domestik - publik buatan pihak-pihak yang berkepentingan. 

Pada masyarakat di sistem ekonomi tradisional, mereka (baca: laki-laki dan perempuan) bergerak saling mengisi dan saling melengkapi. Pembagian kerja ditentukan berdasarkan kesepakatan mereka di masing-masing rumah tangganya.

Mengasuh anak, memasak, dan membersihkan rumah bukanlah hanya kewenangan yang dimiliki perempuan, namun menjadi hal yang bisa ditanggung bersama. Begitupun dengan peran sebagai pencari nafkah, yang bukan mutlak dititikberatkan pada laki-laki. 

Dalam waktu senggangnya, baik perempuan maupun laki-laki akan mengerjakan pekerjaan di ranah domestik. Namun, di waktu ketika mereka harus memenuhi kebutuhan, mereka akan memenuhinya di area publik.

Selain membagi pekerjaan, mereka pun memiliki inisiatif untuk membagi waktu. Jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang kesetaraan gender pada masyarakat tradisional, cobalah Anda datang ke pasar-pasar tradisional, kemudian ikuti sistem ekonomi tradisional dalam kegiatan dari salah satu pedagang ibu-ibu hingga ke rumahnya. 

Atau, datanglah ke sebuah wilayah desa dengan komunitas adat, maka Anda dapat mempelajari nilai-nilai kesetaraan yang nyata.

Posting Komentar untuk " Apa itu Sistem Ekonomi Tradisional?"